Tuanku Imam Bonjol dilahirkan tahun 1772 di kampung Tanjung Bunga, negeri Alahan Panjang, Pasaman, Minangkabau. Tanggal dan bulan kelahirannya tidak di ketahui dengan pasti. Ayahnya bernama Buya Nuddin dan Ibunya bernama Hamatun, yang berasal dari Alahan Panjang juga. Imam Bonjol bernama Peto Syarif. Ia bersaudara lima orang, dua laki-laki dan tiga wanita.
Nagari Alahan Panjang terletak di daerah Pasaman, yang termasuk bagian Rantau dari Kerajaan Minangkabau. Penduduk negeri Alahan Panjang ta'at melakukan perintah agama, demekian pula keluarga Peto Syarif. Mulai dari masa kanak-kanak, Peto Syarif telah menunjukan kemauan yang keras. Ia mempunyai otak yang cerdas. Ketika berumur baru lima belas tahun, ia telah diajak oleh kakeknya mendengarkan orang mengaji Al-Qur'an di kampung. Ia telah mengenal huruf Al-Qur'an sebelum belajar mengaji. Tidaklah mengherankan karena ayahnya seorang guru mengaji di kampungnya.
Hubungan Peto Syarif dengan teman-temannya sangat akrab. Ia pandai bergaul. Ia tidak memilih teman. Akan tetapi, ia mempunyai watak yang keras. Kalau kepentingannya diganggu, ia akan bertindak keras. Ia akan mempertahankan dengan sepenuh hatinya. Apabila jalan damai sudah tidak mungkin lagi, maka jalan kekerasan akan dilayaninya. Dalam bermain dengan teman-temannya, ia selalu menunjukan jiwa kepemimpinannya. Ia selalu tampil membela kebenaran. Itulah Peto Syarif !
Melihat perkembangan Peto Syarif ini, keluarganya sangat sayang kepadanya. Maka menaruh harapan akan masa depannya. Sesudah umurnya mencapai tujuh tahun, mulailah benar-benar Peto Syarif belajar mengaji. Gurunya adalah ayahnya sendiri. Akan tetapi, ia menndapatkan perlakuan yang sama dengan anak-anak yang lain. Ayahnya tidak membeda-bedakan sama sekali. Pendidikan kepada Peto Syarif juga diberikan dengan keras.
Pendidikan umum di sekolah-sekolah seperti sekarang, pada waktu itu belum ada. Anak-anak hanya diajarkan mengaji di surau atau di pesantren. Surau Minangkabau adalah pusat pendidikan. Yang diajarkan bukan hanya mengaji Al-Qur'an, tetapi juga pengetahuan agama Islam lainnya. Pengetahuan umum sebagai pelengkap juga diajarkan, sebagai bekal bagi anak-anak untuk hidup di masyarakat. Pusat pendidikan surau ini terbesar di tiap-tiap negeri di Minangkabau. Banyak ulama terkenal di Minangkabau yang mendapat pendidikan surau ini. Salah seorang diantaranya ialah Peto Syarif.
Pendidikan di surau ini biasanya diberikan pada sore dan malam hari. Peto Syarif itu anak yang cerdas. Dengan cepat ia dapat menangkap dan menguasai pelajaran. Oleh karena itu, ia diangkat oleh ayahnya menjadi guru bantu. Ia membantu ayahnya memberikan pelajaran kepada teman-temannya. Banyak temannya sekampung yang belajar bersama Peto Syarif di bawah bimbingan ayahnya. Walaupun Peto Syarif itu cerdas, ia tidak sombong. Ia tetap menghargai teman-temannya dan bergaul dengan baik.
Sebagai anak Minangkabau, Peto Syarif juga belajar silat. Silat berguna untuk membela diri. Biasanya pemuda Minangkabau waktu itu diajar ilmu silat. Bukankah kemahiran bersilat akan menambah kepercayaan pada diri sendiri ?
Akan tetapi, seseorang yang pandai silat tidak boleh mencari-cari lawan. Kalau terpaksa, barulah dipergunakan ilmu itu. Dalam peperangan, ilmu silat itu juga tetap berguna. Misalnya, bila terjadi perlawanan satu lawan satu. Seorang pesilat sanggup menghadapi lawan sepuluh orang sekaligus. Peto Syarif adalah juga pendekar silat. Pada usia 65 tahun, ia masih mampu mengalahkan tentara Belanda dalam jumlah banyak dalam perang tanding.
Setelah mempunyai bekal yang cukup, baik ilmu agama maupun ilmu silat, Peto Syarif diizinkan untuk melanjutkan pelajarannya ketingkat yang lebih tinggi.
Pada tahun 1792, genaplah 20 tahun umur Peto Syarif. Ia seorang pemuda yang tampan dan cerdas. Dengan kepercayaan pada diri sendiri, ia melanjutkan pelajaran di Koto Tuo, Luhak Agam. Ia berguru pada Tuanku adalah panggilan kehormatan kepada seorang yang ahli dalam agama Islam. Di Aceh orang juga menyebutnya Tuanku dan di Jawa dipanggilnya Kiai.
0 komentar:
Posting Komentar